Halo pembaca JOI yang setia! Bagaimana keadaan kalian? Sudah cukup lama sejak terakhir kali JOI mengulas film anime. Di review kali ini, saya akan membahas film yang sedang tayang di Indonesia, The Tunnel to Summer, the Exits of Goodbyes.
Film dengan judul asli Natsu e no Tunnel, Sayonara no Deguchi ini sudah tayang di bioskop Indonesia sejak 15 November 2023. Kita harus berterima kasih kepada Encore Films yang sudah mendatangkan film ini ke tanah air. Rilisnya sendiri di Jepang sudah tayang sejak 9 September 2022.
Poster resmi yang dikeluarkan Encore Films untuk The Tunnel to Summer, the Exits of Goodbyes.
The Tunnel to Summer, the Exits of Goodbyes merupakan karya novel ringan buatan Hachimoku Mei. Novel ini hanya memiliki 1 volume dan sudah dipublikasikan oleh Seven Seas Entertaiment untuk versi bahasa Inggrisnya. Meski hanya terbit satu volume saja, novel ini berhasil memenangkan penghargaan Gagaga Award dan Jury Special Award di Shogakukan Light Novel Award ke-13. Penghargaan itu diraih pada tahun 2018 dengan menggunakan nama lain novel yaitu Boku ga Urashima Tunnel wo Nukeru Toki.
Novel ini menceritakan Kaoru Tono yang menemukan terowongan Urashima (Urashima Tunnel) yang selama ini menjadi mitos dalam percakapan orang-orang. Rumornya, barangsiapa yang masuk ke dalam terowongan tersebut, keinginannya akan terkabul, tetapi dengan bayaran umur yang tidak sedikit.
Mencoba untuk mendapatkan Karen, adiknya yang sudah tiada, Tono memberanikan diri untuk masuk ke dalam terowongan itu. Saat dirinya sudah berada di dalam, ia baru tersadar kalau Hanashiro Anzu, anak baru di kelasnya, mengikutinya dari belakang. Keduanya kemudian sepakat untuk bekerja sama dalam menguak rahasia dari terowongan tersebut.
CLAP menjadi studio di balik pengerjaan film yang berdurasi 1 jam 22 menit ini. Taguchi Tomohisa (Bleach: Sennen Kessen-hen, Akudama Drive, Sousei no Onmyouji) berperan sebagai sutradara, sedangkan eill menjadi pengisi lagu tema dalam film ini.
Taguchi membawa rekan lamanya seperti Gouda Saori untuk mengurus desain warna dan beberapa staf lain yang pernah bekerja bersamanya untuk film Digimon Adventure: Last Evolution Kizuna. Mereka adalah Iida Satoki (Asobi Asobase, Paripi Koumei, Ansatsu Kyoushitsu) sebagai sound director dan Fuuki Harumi (Piano no Mori, Kagami no Kojou) untuk pengerjaan musik.
Selesai menonton film ini di bioskop, saya pulang untuk lanjut membaca novelnya. Karenanya, dalam artikel ini bakal ada dua bagian yang ditulis terpisah. Bagian awal disediakan bagi yang belum menonton filmnya agar terbebas dari spoiler, sedangkan bagian terakhir akan diisi dengan banyak spoiler yang mengambil referensi novel aslinya. Jadi, jangan heran kalau verdict dalam artikel ini punya dua versi.
Jika sudah paham, yuk kita langsung masuk ke bagian bebas spoiler-nya dan menguak tuntas isi film ini.
Legenda Urashima Tarou
Bicara soal cerita Urashima Tunnel yang diangkat dalam film ini, tidak akan lepas dari pembahasan cerita rakyat asal Jepang, Urashima Tarou.
Alkisah ada nelayan yang bernama Urashima Tarou. Suatu hari, ia menolong penyu yang terjebak di bibir pantai. Berkat perbuatan baiknya tersebut, ia mendapat undangan ke istana laut. Di sana ia menghabiskan cukup banyak waktu, yang paling banyak disebut dari berbagai versi adalah sekitar 3 tahun.
Ia kemudian menikah dengan Otohime yang merupakan putri di istana tersebut. Bahagia akan pernikahannya, Urashima Tarou ingin membawa kabar baik itu untuk orang tuanya di desa. Sebelum Urashima Tarou pergi, sang putri memberi kotak yang diberi nama tametebako dan berpesan jangan sampai membukanya.
Betapa terkejutnya Urashima Tarou ketika mengetahui desa bahkan orang tuanya sudah tidak ada. Ia menanyakan situasi terkini pada orang sekitar dan mendapati waktu di daratan sudah beratus-ratus tahun terlewati sejak kepergiannya. Urashima Tarou lalu membuka tametebako dengan harapan ada keajaiban mengembalikan desa dan orang tuanya. Seketika ia membuka kotak tersebut, rambutnya berubah menjadi putih dan menjadi orang tua renta. Tak lama setelah itu, Urashima Tarou mati akibat membuat kotak yang ternyata berisi umur tuanya.
Cerita ini sudah menjadi legenda rakyat Jepang yang punya banyak versinya. Kementrian Pendidikan Jepang mengubah cerita Urashima Tarou menjadi lebih halus untuk bisa dibaca anak-anak.
Adegan akurium wajib hadir dalam film untuk menegaskan referensi legenda Urashima Tarou.
Bagaimana? Tidak asing bukan? Kisah Urashima Tarou dengan time gap-nya menjadi ide untuk Urashima Tunnel dalam cerita ini. Terowongan Urashima punya perbedaan waktu yang cukup signifikan dengan dunia luar. Terowongan inilah yang menjadi inti konflik dalam cerita dan membuat Hachimoku Mei memenangkan penghargaan karena ceritanya cukup masuk bagi orang Jepang yang tidak asing dengan kisah Urashima Tarou.
Pengulangan Visual Secara Gamblang
CLAP tidak punya banyak judul di portofolio mereka dalam mengerjakan anime. Hanya ada satu film yang pernah dibuat studio ini sebelum membuat Natsuton (singkatan dari judul Jepang film ini). Film itu adalah Eiga Daisuki Pompo-san. Selebihnya, CLAP hanya mempunyai kredit dalam membuat animasi dalam MV LIPxLIP, sebuah grup beranggotakan dua karakter anime tampan yang berasal dari lingkup HoneyWorks.
Awal film penonton langsung disajikan beberapa visual berupa pemandangan yang dibuat begitu rupa. Kalau saya menonton film ini 5 tahun lalu, pasti saya sudah terpukau. Sayangnya, semua yang ditampilkan di sini bukanlah barang baru. Saya sudah menganggap visual seperti ini sudah menjadi standar film anime di tahun 2023.
Taguchi nampaknya suka dengan elemen yang diulang-ulang. Beberapa kali penonton diperlihatkan bunga matahari (himawari) sebagai penanda waktu. Elemen lain yang tidak kalah banyaknya diulang adalah jejak awan pesawat (hikoukigumo). Visual ini beberapa kali diperlihatkan sebagai transisi antar scene. Ini juga mengingatkan kalau hari itu cerah. Saya rasa elemen seperti ini wajib karena nuansa musim panas menjadi tema dari cerita.
Penggunaan bunga matahari memperkuat efek musim panas sekaligus penanda waktu.
Jejak awan pesawat nampak sekilas, tetapi mengandung maksud terselubung di setiap kemunculannya.
Menariknya, ada satu elemen lagi yang sering diulang, itulah hujan. Bayangkan, ada berapa banyak hujan yang dicurahkan dalam film ini. Adegan awal dari film ini saja langsung diguyur hujan. Ke depannya, cuaca hujan lebih sering di-spam daripada jejak awan pesawat penanda langit cerah.
Beberapa hal lain yang dapat saya catat mengenai visual adalah soal pencahayaan yang begitu nampak. Saya tidak keberatan akan hal ini, hanya saja mungkin bagi mereka yang tidak suka permainan cahaya yang agak sedikit berlebih mungkin kurang nyaman akan hal ini. Sorot kamera bak mengambil sudut pandang mata karakter juga sempat membuat terkagum sebelum mereka kembali ke pengaturan pabrik. Adanya CGI terutama untuk pilar torii di tunnel membuat saya terganggu, sehingga saya tidak bisa menilai tinggi visual dalam film ini.
Satu animasi yang mungkin bisa mendapat pujian adalah saat adegan Tono berbicara dengan ayahnya pertama kali di film. Di sisi ruangan ada cermin yang memantulkan pergerakan Tono di ambang pintu. Cermin itu berhasil merefleksikan semua gerak-gerik Tono dengan baik, sehingga saya bisa menilai kalau bagian animasi dikerjakan begitu detail.
Efek 3D dalam pohon ini terlalu jelas terlihat menimbulkan kejomplangan dengan gambar karakternya.
Dominasi eill untuk Musik
Film berhasil dimulai dengan start yang tidak buruk. Tidak ada hal yang begitu menganggu, bahkan untuk timing musik di bagian awal bisa saya katakan pas. Momen ketika karakter utama menyalakan lagu di pemutar musik, itu membuat saya memandang tinggi persoalan audio di film ini. Tangan Iida Satoki yang cukup berpengalaman bisa diandalkan dalam masalah ini.
Seiyuu untuk Tono dan Anzu masih tergolong pemula, tetapi saya tidak menemukan masalah di akting suara mereka. Suara Tono mungkin agak terdengar kaku bagi orang yang terbiasa mendengar akting karakter ala anime. Untuk orang yang seperti itu, saran saya cobalah menggali peran suara dalam anime yang disajikan layar lebar. Kebanyakan dari mereka mengambil seiyuu yang tidak banyak jam terbang untuk memperdengarkan akting suara natural bak orang Jepang berbicara aslinya.
Kredit bisa saya berikan untuk Iitoyo Marie sebagai seiyuu Anzu dalam film ini. Aktingnya sebagai Anzu cukup overwhelming membuat saya teringat Chika Anzai kalau lagi kalem. Seiyuu pemula satu ini sukses memancarkan aura kewaifuan seorang Hanashiro Anzu.
Musik yang dibuat Fuuki Harumi tidak buruk, tetapi tidak ada yang nyangkut di kepala. Lagu tema dari eill lebih mendominasi ingatan saya. Jika saya mencoba mengingat bagaimana musik dalam film ini bekerja, otak saya pasti akan memutar lagu Finale. Finale adalah lagu yang mudah diingat dan cocok dengan romansa yang diangkat dalam anime ini.
Segudang Pertanyaan Tak Terjawab
Bicara soal ceritanya, filmnya menitikberatkan ke perihal kisah cinta yang tumbuh di antara Tono dan Anzu. Bahwa Anzu adalah waifu ideal itu dapat ditransfer baik kepada penonton. Meski adegan kembang api tidak semeriah anime lain, chemistry antara mereka berdua bisa didapatkan.
Hanya saja, apa yang digambarkan dalam film ini belum cukup untuk menggambarkan situasi cerita yang seharusnya ada. Karakter yang menonjol hanyalah Anzu dan Tono, sementara karakter-karakter lain hanya numpang di sini. Konflik dalam cerita mudah ditebak karena banyak hal yang dibatasi. Durasi film terlalu singkat dan banyak memotong bagian yang seharusnya ada. Tidak ada lagi cerita yang ditunjukkan setelah credit roll diperlihatkan.
Taguchi terlalu fokus membangun suasana romantis dan mengabaikan aspek lain. Ia bahkan mengganti banyak sekali adegan asli dalam novelnya. Sulit dikatakan untuk menyebut film ini merupakan adaptasi novel yang memenangkan perhargaan Shogakukan kalau lebih dari separuh cerita novelnya diganti atau dihilangkan. Makanya, saya perlu menulis bagian kedua yang berisikan spoiler demi mengungkap jati diri The Tunnel to Summer, the Exits of Goodbyes.
Beberapa pertanyaan mengambang tanpa jawaban ketika saya selesai menonton film ini. Bagaimana hubungan keluarga Tono lebih lanjut? Bagaimana respon teman-teman sekolah setelah time skip panjang? Apa kelanjutan kisah setelah adegan akhir di film? Ketidakjelasan kedua tokoh utama dalam bertindak dan mengubah sikap di bagian klimaks juga masih menyimpan banyak sekali tanda tanya. Jika kalian ingin tahu jawabannya, bolehlah memberanikan diri membaca bagian spoiler meski belum membaca novelnya.
Verdict 1: Anzu Best Girl/10
Jikalau kalian mencari karakter waifu secantik Anzu apalagi yang sama fetishnya seperti saya, maka film ini cocok buat kamu. Terlebih lagi kalau kalian mencari film anime yang tidak terlalu panjang dan berisikan romansa remaja ditemani misteri dan tema perjalanan waktu.
Dari segi romansa, bolehlah film ini disanjung. Namun, kalau melihat lebih dalam, maka kalian tahu kalau film ini hanya mencuri judul dari novel pemenang perhargaan karya Hachimoku Mei dan mengubahnya ke cerita baru. Penonton filmnya saja sama sekali tidak akan menyadar ada banyak yang seharusnya didapatkan dari novel pemenang penghargaan ini.
Kalau dari saya yang sudah membaca novelnya, saya bisa katakan kalau secara keseluruhan novel berada jauh di atas filmnya dalam mengungkap cerita. Semua pertanyaan yang timbul dalam film akan terjawab jika kalian membaca novelnya, dalam artian ceritanya lebih masuk akal dibanding film yang mengubah adegan dan peran karakter penting.
Hanya romansa dan bagian sinematik asli dari filmnya yang bisa diapresiasi. Setumpuk kertas yang dijilid dalam satu volume menjadi sia-sia di tangan CLAP. Kalau saya jadi penulisnya, saya bakal sedih studio itu dengan keji menyembelih cerita yang susah payah dibentuk menjadi batu loncatan mereka mendapat nama dari judulnya.
Bagian Spoiler: Komparasi Novel dan Film
Mulai bagian ini akan berisi dengan banyak spoiler yang berasal dari novel. Meski saya berkata demikian, ada banyak adegan dalam novelnya yang diubah atau bahkan dihilangkan di film. Jadi, saya harus menjelaskan panjang lebar karena ketidaktegaan saya melihat karya tulis yang disia-siakan lewat filmnya.
Jika kalian memaksa untuk membaca bagian ini, saya sarankan setidaknya sudah menonton filmnya terlebih dahulu di bioskop. Poin-poin komparasi saya akan dijabarkan lewat tulisan di bawah berikut.
Adaptasi Rasa Original
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, filmnya lebih banyak memberikan pertanyaan daripada jawaban dalam ceritanya. Pertanyaan-pertanyaan itu sebetulnya tidak akan ada kalau saja filmnya lebih setia dalam mengadaptasi novel. Saya tidak perlu mengetik sepanjang ini dan menambahkan sektor spoiler apabila mereka tidak mengubah bahkan menghilangkan sekitar separuh cerita aslinya.
Kalian yang nonton film saja hanya diberikan cerita kurang lebih seperti ini. Ada cowok ketemu cewek, kenalan, terus akhirnya bisa lebih akrab sampai bekerja sama menguak misteri tunnel, si cowok kemudian meninggalkan ceweknya, time skip, akhirnya mereka bertemu kembali. Ini format yang sudah banyak di pasaran dan hampir tidak ada hal unik yang dapat dibanggakan. Kalau pun ada, bagian tunnel dengan time gap-nya itu yang menjadi sedikit yang diambil (baca: dicuri) dari novelnya.
Jika hanya dari film saja, kita tidak mendapat kejelasan mengapa Anzu tidak langsung mengejar Tono di hari ia membaca pesan perpisahan. Alasan Anzu akhirnya mulai bergerak menyusul Tono juga tidak diberikan kejelasan motif, di film hanya ditampilkan ia rindu dan langsung gas ke stasiun kereta. Alasan Tono meninggalkan Karen yang susah payah ia temui di tunnel juga kurang diterima karena semata-mata film ini maunya bagian manis romantisnya saja. Tono itu adalah laki-laki yang sudah dipenuhi rasa bersalah bertahun-tahun akibat kematian adiknya. Tidak mungkin ia tanpa sebab meninggalkan Karen begitu saja, apalagi filmnya tidak menunjukkan usaha Tono mengajak Karen kembali ke dunia luar.
Saya paham kalau terkadang memberikan ending gantung bisa memberi efek lebih lengket untuk penonton. Hanya saja, sebagai studio yang memproduksi yang namanya adaptasi, mereka harus sadar diri kalau ini bukanlah karya orisinal buatan mereka. Ada batas di mana bagian cerita diganti atau dihilangkan, tidak dengan porsi sebesar ini.
Novel: Resolusi dan Jawaban
Novel memberikan kejelasan cerita jauh lebih baik dari filmnya. Bahkan ada beberapa karakter yang sebenarnya berperan jauh dalam memasangkan Anzu dan Tono. Mereka disatukan bukan hanya lewat interaksi berdua saja. Untuk masalah ini bakal saya bahas di poin terakhir, istilahnya save the best for the last.
Dalam novel kita mendapat kepastian soal hubungan keluarga Tono. Ia bahkan sempat bertemu dengan ibunya di waktu festival. Ini adalah awal mula Tono muak dengan keluarganya yang diakhiri dengan pertemuan terakhir dengan ayahnya di malam setelah festival. Tono kemudian kabur dengan meninggalkan pesan dalam botol di dekat tunnel.
Bagi saya, meninggalkan pesan dalam botol jauh lebih masuk akal ketimbang mengirim SMS yang panjangnya bukan main. Ingat, di zaman itu belum canggih seperti sekarang. Ada batas karakter saat ingin mengirimkan SMS. Saya paham kalau bagian ini diubah untuk meluruskan cerita yang sudah banyak diubah oleh mereka sebelumnya.
Sebelumnya film sudah mengubah bagian awal cerita dengan mempertemukan Tono dan Anzu langsung di stasiun kereta api. Adegan seperti ini tidak ada di novel, mereka baru bertemu di kelas saat Anzu baru diperkenalkan. Untuk yang satu ini bisa saya approve karena pembukanya lebih membekas dan masih bisa diluruskan dengan mudah.
Masalahnya, lebih banyak perubahan terjadi seiring cerita dalam filmnya berjalan. Kalau bagian minor yang didramatisir seperti eksperimen yang lebih banyak dari novelnya atau cara eksperimen yang digunakan berbeda masih bisa saya terima. Sayangnya, perubahan-perubahan minor itu menuntun ke arah perubahan yang lebih besar lagi.
Kegagalan eksekusi bagian final tidak sejalan dengan musik yang dibawakan eill begitu indah. Lagu finale jadi sia-sia kalau saya mengingat betapa keroposnya momen Tono dan Karen. Harusnya dalam adegan itu Tono masih lebih terikat dengan Karen, bukan ingat Anzu dan langsung meninggalkannya.
Adegan klimaks dalam novel harusnya masih bisa masuk meski ada banyak perubahan dalam filmnya. Di novel, dialog Karen membuat Tono sadar kalau kekuatan Urashima Tunnel adalah mengembalikan yang sudah hilang. Ini kontras dengan film yang sudah lebih cepat mengungkapnya lewat pesan panjang Tono sebelum ia masuk ke tunnel terakhir kalinya. Dalam percakapan Tono dan Karen, Karen memberikan semacam approval agar Tono bisa kembali merasakan cinta. Rasa cinta yang tersegel karena rasa bersalah yang lebih kuat akhirnya runtuh karena surat izin tersebut. Alangkah indahnya jika itu benar-benar masuk dalam film, tetapi sayang film tidak mau unsur selain Anzu dan Tono ikut bermain dalam durasi pendeknya.
Di novel bahkan Tono yang sudah ingin keluar tunnel masih berusaha mengajak Karen ikut keluar. Ini tidak terjadi di film. Sebenarnya dari penyampaian film untuk penyebab kematian Karen saja sudah salah. Karen tidak pernah dituliskan bermusuhkan dengan kakaknya. Karenanya, film gagal menampilkan sosok Karen, sosok yang sudah mengisi hati Tono selama bertahun-tahun.
Kalau saya ceritakan mengapa akhirnya Tono keluar tanpa membawa Karen bakal lebih panjang tulisan ini. Intinya, di novel itu Tono akhirnya didorong Karen agar keluar dari pintu, kemudian Karen lenyap bersama pintunya. Jadi, Tono di novel lebih realistis tindakannya dibanding yang ada di film.
Di dalam novel, kalian juga bisa menemukan jawaban mengenai pertanyaan apa kelanjutan cerita setelah Tono dan Anzu keluar dari tunnel. Masa depan Tono terjamin karena tawaran Anzu untuk menjadi asisten mangaka seumur hidupnya. Ia juga menemukan alamat baru ayahnya yang ditinggalkan dalam kotak kenangan Karen di rumah lamanya yang belum terjual. Tono yang masih 17 tahun itu juga bertemu dengan dua teman sekolahnya, Shohei dan Koharu yang kini sudah berusia 30 tahun. Sebuah ending yang sesuai dengan keinginan Hachimoku Mei dalam kata penutupnya, “a good and solid novel.”
Kawasaki Koharu, Karakter Penting yang Terlupakan
Hal yang paling sayangkan dari filmnya adalah keputusan mereka memudarkan peran Kawasaki Koharu dalam cerita. Kalau soal Shohei atau Hanamoto-sensei saya masih bisa maklum, tetapi tidak dengan Koharu. Koharu hanya diperlihatkan dua kali dalam film, pertama saat ia merundung Anzu yang dibalas pukulan telak dan terakhir saat berbaikan dengan Anzu di kolam renang.
Kalian akan terkejut jika mendapati kalau dalam novel Koharu adalah karakter penting yang menjadi jembatan antara Tono dan Anzu. Waktu mereka jalan-jalan di festival saja itu adalah ide Koharu dan mereka bertiga pergi ke situ, bukan hanya Tono dan Anzu. Filmnya juga tidak memberikan alasan di balik perjanjian damai Koharu dan Anzu, yang di novel itu menghabiskan hampir setengah chapter untuk hal itu. Padahal, perubahan karakter Koharu dari tukang bully menjadi best support adalah salah satu daya tarik novel yang menghabiskan banyak bagian untuk membangun karakter ini.
Koharu menjadi lebih penting lagi ketika ialah sosok yang menjadi trigger Anzu mengejar Tono yang sudah 5 tahun menghilang di tunnel. Kalau saya simpulkan, setelah Koharu ditonjok Anzu, ia menjadikan Anzu sebagai panutan. Ada suatu perkataan Anzu yang penting yaitu ia tidak mau mati tanpa meninggalkan jejak seperti kakeknya (kakeknya dalam novel bukan mangaka). Karena itulah Anzu bertekad ingin jadi seseorang yang luar biasa, sekali lagi luar biasa. Perkataan ini dilontarkan kembali oleh Koharu ketika bertemu dengan Anzu yang kala itu sudah menyelesaikan serialisasi manganya. Koharu ingin menjadi orang yang luar biasa seperti Anzu, dan karena perkataan itu Anzu bisa lepas dari belenggu surat Tono yang mengekangnya selama ini untuk menyusul pujaan hatinya.
Agak disayangkan kita tidak bisa melihat adegan Koharu yang mengaplikasikan ajaran Anzu setelah usianya menginjak 30 tahun waktu melihat Tono yang hilang sudah kembali. Kalau satu adegan tonjok Anzu saja bisa viral, bagaimana adegan tonjok Koharu? Bisa terbayang bukan? Kalau saya, sih, lebih ingin melihat Koharu mode kasual dengan kacamatanya.
Selebihnya, saya kira tidak perlu menyebutkan semua perbedaan film dengan novelnya. Yang jelas ada banyak bagian novel yang diubah seperti tanggal 2 Agustus bukan ditetapkan Tono, tetapi Anzu karena perihal manga yang dikirimnya. Karen tidak pernah disebutkan meninggal tanggal berapa. Filmnya saja yang terlalu mendramatisir hingga mengganti bagian ini. Satu-satunya bagian yang diganti di filmnya yang bisa saya approve adalah soal rambut Anzu yang masih panjang ketika sudah dewasa (di novel rambut Anzu jadi potong pendek).
Rambut hitam lurus panjang Hanashiro Anzu menyelamatkan film ini.
Verdict 2: Koharu Best Girl/10
Durasi film yang singkat membuat banyak hal yang dipangkas dan diganti hingga mengubah esensi sumber aslinya. Saya masih tidak bisa terima bagaimana Koharu ditelantarkan dan bagian klimaks yang harusnya mereka bisa buat lebih mengena hanya dibuat seadanya begitu saja.
Romansa terlalu membutakan mereka. Latar belakang tokoh yang harusnya diperlihatkan malah ditutupi, menyebabkan bagian eksekusi bagian klimaks menjadi prematur. Penonton bahkan tidak diberikan kejelasan nasib Anzu dan Tono setelah keluar tunnel. Ini agak disayangkan karena novelnya berhasil menutup cerita tanpa menimbulkan banyak pertanyaan.
Jika kalian ingin mengetahui kisah The Tunnel to Summer, the Exits of Goodbyes yang sebenarnya, lebih baik membaca novel ketimbang filmnya. Filmnya hanya untuk menghabiskan 1 jam 22 menit kalian untuk kisah romansa yang buta.
Comments